Selasa, 22 Desember 2009

animasi kartun jepang


JOKO SANTOSO, KEDAULATAN RAKYAT – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memanggil pihak Global TV terkait dengan penayangan film animasi ‘Naruto’. Sebagaimana dipublikasikan pihak KPI melalui situs internet www.kpi.go.id, langkah ini ditempuh sebagai tindak lanjut dari laporan masyarakat yang masuk ke lembaga negara independen tersebut.

Melalui websitenya, KPI juga menginformasikan bahwa lembaga ini telah mengirim tim investigasi ke Semarang, Jawa Tengah untuk mencari tahu penyebab kematian Revino Siahaya, anak berusia 10 tahun, yang disinyalir bunuh diri akibat meniru gaya dalam film kartu Naruto.

Berdasarkan hasil penyelidikan pihak yang berwajib, memang itdak ada indikasi adanya pengaruh film tersebut terhadap kematian Revino. Tetapi menurut KPI kasus ini menimbulkan keresahan dari masyarakat akan sinyalemen bahwa film kartun Naruto mempunyai pengaruh buruk terhadap perilaku anak.

Kasus Naruto tersebut menambah panjang catatan ihwah film animasi kartun televisi yang mendapat protes masyarakat. Kita tentu masih ingat, beberapa waktu silam film animasi kartun Sinchan dan Doraemon, banyak mendapat kritik bagi masyarakat karena dinilai kurang edukatif dan tidak sesuai untuk anak-anak.

Sinchan dalam beberapa serialnya menampilkan perilaku yang menjurus ke arah pornografi. Sementara film animasi kartun Doraemon banyak disoroti karena memanjakan tokoh Nobita dengan hal-hal yang bersifat instan. Ini menyebabkan tokoh Nobita menjadi sosok anak yang malas dan kurang mandiri, selalu mengandalkan Doraemon dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Perilaku kedua tokoh kartun tersebut, dikhawatirkan pihak orangtua bisa memberi pengaruh negatif bagi perkembangan anak.

Kembali pada Naruto, pada dasarnya film ini memang cukup menarik. Bercerita tentang petualangan seorang bocah dari perkampungan ninja bernama Konoha. Film animasi kartun ini menampilkan hal yang berbeda dari sosok ninja pada umumnya. Tokoh-tokoh ninja dalam kisah Naruto tampil lebih terbuka, fashionable, lepas dari mainstream figur ninja klasik yang cenderung berpenutup wajah dan misterius. Begitu pula dengan persenjataan. Kalau ninja klasik banyak mengandalkan kepiawaian dalam memainkan jurus samurai, tombak dan senjata rahasia, maka Naruto dan kawan-kawan digambarkan lebih hebat dari itu. Mereka tidak lagi tergantung pada senjata konfensional karena memiliki kesaktian luar biasa.

Dengan menggunakan teknis animasi modern, ilmu-ilmu yang ditampilkan menjadi tampak hebat, dramatik, dan heroik. Wajar apabila banyak disukai oleh anak-anak. Tapi, di lain sisi, harus diakui, sepanjang film ini selalu tak lepas dari adegan kekerasan. Pertempuran yang tak jarang berujung pada pembunuhan, selalu menjadi pilihan dalam menyelesaikan setiap masalah, yang diangkat sebagai inti cerita. Tidak berlebihan apabila orangtua menjadi khawatir.

***

Bila kita cermati, sebenarnya memang banyak film animasi kartun di televisi yang menampilkan adegan kekerasan. Ironisnya, animasi kartun di televisi bagi sebagian besar masyarakat masih dianggap sebagai film anak-anak. Padahal kita tidak tahu, film impor tersebut di negara asalnya apakah memang jelas-jelas untuk konsumsi anak-anak, atau tidak?

Sebagai contoh, film animasi kartun ‘Tom and Jerry’ yang populer dan sangat digemari oleh anak-anak. Banyak orangtua yang merasa aman-aman saja dan membiarkan buah hati mereka menonton animasi kartun tanpa perlu mendampinginya. Padahal, film animasi karya duo animator William Hanna dan Joseph Barbera ini bila diperhatikan sarat dengan adegan kurang terpuji. Film kartun legendaris yang pertama kali diproduksi tahun 1940 ini, hampir di setiap penayangannya tampil penuh kekerasan maupun keisengan yang cenderung ekstrem. Perseteruan abadi tokoh kucing dan tikus ini selalu diwarnai dengan upaya saling mengalahkan dengan melakukan pemukulan, penusukan, pembakaran, jebakan, peledakan, penyiksaan terhadap masing-masing tokoh maupun perusakan materi seperti melempar piring, membanting gelas dan lain sebagianya. Meski semua itu dikemas dalam balutan humor, sehingga tampak jenaka, namun bagi anak-anak yang belum bisa berpikir panjang bisa jadi apa yang diperagakan oleh tokoh Tom dan Jerry dianggap sebagai legalitas bagi mereka untuk melakukan hal serupa dalam pergaulan sehari-hari.

Lalu bagaimana seharusnya? Film animasi yang bagaimana yang benar-benar ideal untuk anak-anak? Memang sulit untuk menemukannya. Tapi tak menutup kemungkinan, bahwa dampak negatif yang selalu dikhawatirkan masyarakat atas film kartun animasi televisi terhadap anak, bisa diminimalisir.

Misalnya; (satu); ada pelabelan atau pengkategorian yang jelas dan tegas dari KPI atau lembaga terkait terhadap film animasi kartun televisi, apakah untuk anak-anak, remaja, dewasa, atau segala usia; (dua), pihak LSF lebih ketat lagi dalam melakukan sensor; (tiga), orangtua menyempatkan waktu untuk selalu mendampingi anak-anak saat menonton film animasi kartun, dan siap memberikan penjelasan seperlunya apabila ada adegan yang tak pantas untuk anak-anak; (empat), komitmen pihak televisi untuk memproduksi film animasi kartun bernuansa budaya lokal, sekaligus sebagai upaya memberdayakan dan mengakomodasi potensi animator dalam negeri.

Mengingat dewasa ini ilmu dan teknik animasi banyak diajarkan secara akademis di perguruan tinggi seni maupun teknik informatika, maka anak bangsa yang handal dan potensial membuat film animasi cukup melimpah. Banyak cerita rakyat dan kisah-kisah budi pekerti yang bisa diaktualisasikan kembali menjadi animasi kartun televisi, sehingga kita tidak dijajah produk film impor, dan tanpa disadari dipaksa untuk permisif terhadap budaya asing melalui setting, istiadat dan perilaku para tokohnya yang belum tentu sesuai dengan budaya Indonesia.

Joko Santoso SSn, Alumnus Diskomvis ISI Yogyakarta, penggemar film kartun.

Sumber: Kedaulatan Rakyat, 16 Pebruari 2008 [ tautan ]

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Ralepi.Com - BMW Motorcycle